“Makan enggak makan, yang penting nge-game?”
Fakta bahwa gamer tidak segan untuk mengetatkan ikat pinggang untuk sekedar nge-game dianggap sebagai sesuatu yang absurd.
Fakta bahwa gamer tidak segan untuk mengetatkan ikat pinggang untuk sekedar nge-game dianggap sebagai sesuatu yang absurd.
Seolah jatuh pada mode survival, banyak gamer yang tidak segan jatuh pada pola hidup pelit yang ekstrim ketika menyangkut kegiatan bermain game mereka. Ketika sulit untuk menyimpan uang untuk kebutuhan yang lain, gamer biasanya akan sangat mudah menyisihkan uang, bahkan rela untuk tidak jajan dan mengetatkan ikat pinggang hanya untuk memenuhi kebutuhan gaming mereka. Rela lapar untuk sekedar menghabiskan waktu 1-2 jam di game centre atau membeli bundle game ori yang sudah diidam-idamkan selama berbulan-bulan tentu saja menjadi sebuah tingkah laku yang terhitung tidak masuk akal di mata mereka yang non-gamer. Namun bagi gamer, ini adalah salah satu pencapaian terbesar yang tidak bisa dirundingkan.
“Menyerang kok pakai giliran?”
Dengan dasar pengetahuan bahwa semua game adalah game action atau platformer, konsep turn-based ala JRPG terlihat bodoh.
Kalimat inilah yang sudah tentu sempat terlontar oleh orang awam yang sempat menyaksikan para gamer yang tengah asyik menyelesaikan game-game JRPG klasik mereka, seperti yang sempat dilontarkan oleh orang tua kami sendiri. Konsep JRPG klasik yang masih mengusung sistem dan turn-based battle dianggap sebagai konsep yang konyol. Dengan dasar pengetahuan bahwa semua game adalah game action yang meminta Agan untuk bereaksi dan bertukar serangan secara real time, banyak orang awam yang melihat mekanisme yang ditawarkan oleh JRPG sebagai konsep yang tolol. Jadi ketika pertanyaan meluncur, “Menyerang kok pakai giliran?”, Agan dibawa pada kewajiban untuk menjelaskan apa itu JRPG dan yang membedakannya dengan game bergenre lain.
“Hari gini masih main game yang gambarnya jelek begitu?”
Fakta bahwa gamer tidak segan untuk memainkan game-game dengan visualisasi yang tidak menarik menjadi hal yang aneh di mata orang awam.
Salah satu paganngan yang seringkali salah di mata orang awam adalah asosiasi antara kualitas visualisasi dan kualitas gameplay. Tidak sedikit non-gamer yang jatuh pada satu kesimpulan yang terhitung absurd di mata gamer – bahwa semakin bagus gambar sebuah game maka semakin menyenangkan dan keren jugalah gameplay sebuah game. Sebuah paganngan yang tentu saja salah kaprah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Agan akan seringkali dikomentari begitu menjajal game-game lawas dengan visualisasi jadul untuk sekedar nostalgia atau game-game terkini yang tidak lagi mementingkan kualitas grafis. Keinginan Agan untuk mencicipi game-game ini seperti dilihat sebagai sesuatu yang aneh. “Mengapa tidak memainkan game yang lebih modern?”, itu mungkin menjadi alur pikiran utama para non-gamer ini.
“Kenal juga enggak, kok loyal banget?”
Percaya, loyal, dan bertanggung jawab atas peran yang disaganng di dalam guild menjadi sesuatu yang unik.
Pertemanan di dunia maya adalah hal yang tidak lagi asing dengan perkembangan teknologi yang satu ini. Namun mengembangkan loyalitas yang luar biasa untuk orang yang belum pernah Agan temui secara langsung di dunia maya tanpa keraguan? Hanya gamer yang mampu melakukan hal ini. Fenomean ini sendiri dapat terlihat dari sistem guild yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunai MMORPG. Masuk ke dalam guild berarti percaya dan mengikuti sebauh sistem unik dalam kelompok, serta berusaha bekerja sama dan berperan sebaik mungkin. Ketika ketua guild meminta untuk berkumpul untuk hunting bersama misalnya, menjadi kewajiban anggota guild untuk menyempatkan waktu untuk ikut jika dimungkinkan. Sebuah bentuk loyalitas mungkin terlihat absurd di mata orang awam. Bagaimana caranya gamer dapat mengembangkan kepercayaan dan tanggung jawab untuk orang yang bahkan belum mereka temui secara langsung? Ini tentu akan menjadi misteri tersendiri bagi para gamer, setidaknya hingga mereka menjajal, mengalami, dan menemukan jawabannya secara langsung.
“Coba sekali-kali keluar rumah”
“Playing outside”
“Playing outside”
Ini sudah pasti menjadi nasihat yang seringkali Agan terima ketika berperan sebagai seorang gamer. Dengan durasi gameplay minimal 8 jam hingga ratusan jam permainan, apalagi ditambah dengan kemampuan untuk menyuntikkan berbagai elemen yang adiktif, hidup gamer memang akan dengan mudah terserap ke dalam layar monitor dan kontroler yang tengah mereka genggam erat. Kesenangan, kepuasan, dan tantangan yang ia lahirkan membuat sebagian besar gamer dianggap anti-sosial, terutama dari mereka yang non-gamer. “Dipaksa” untuk lebih banyak menikmati dunia luar, banyak orang awam yang seolah tidak memahami bahwa sumber kesenangan gamer sangatlah sederhana. Tidak dengan bercerita banyak hal dengan orang lain, tidak dengan berinteraksi dengan tetangga, tidak dengan mendengar curahan hati teman, yang dibutuhkan oleh seorang gamer adalah peran dan konklusi dari setiap game yang tengah mereka main. “Coba sekali-kali keluar rumah” menjadi pilihan tidak rasional, seperti merebut sumber kesenangan dari Agan secara instan.
“Reaksinya jangan lebay donk kalau ada game baru!”
Antisipasi yang tinggi, apalagi jika menyangkut platform atau game-game terbaru dari franchise raksasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas sebagai seorang gamer.
Bagi seorang gamer, tidak ada momen yang lebih menyenangkan selain menemukan fakta bahwa akan ada lebih banyak game berkualitas yang muncul dalam hitungan hari atau minggu ke depan. Jika game-game ini hadir dari franchise yang memang besar atau memang sudah diantisipasi untuk waktu yang sangat lama, berteriak girang dengan mood positif yang kuat tentu saja menjadi reaksi yang normal. Ini seperti menemukan kembali air setelah masa paceklik dan kering yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Namun bagi mereka yang awam, reaksi ini dilihat sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak masuk akal. Mencintai dan menanti kehadiran sebuah permainan digital dianggap absurd dibandingkan menantikan sesuatu yang lebih fisik.
“Gua dulu pernah main Mario di Playstation”
Ada urgensi untuk memberikan penjelasan tentang varian platform dan game-game eksklusif mereka kepada mereka yang non-gamer. Untuk apa? Supaya komentar “tidak masuk akal” yang menihilkan informasi ini tidak lagi terlontar di masa depan.
Bagi non-gamer, tidak ada platform yang berbeda, semua video game dilihat sebagai satu kesatuan yang sama. Bagi mereka, semua platform adalah Playstation saat ini dan platform yang lebih lawas adalah Nintendo, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, tidak jarang jika Agan menemukan komentar aneh yang mungkin bertolak belakang dengan pengetahuan dan pengalaman yang selama ini kita kenal. “Gua dulu juga pernah main Mario di Playstation”, menjadi salah satu contohnya. Tidak heran jika gamer mengembangkan kebiasaan untuk memberikan koreksi setiap kali seperti ini mengemuka di perbincangan ringan. Usaha untuk membeberkan pengetahuan bahwa video game memiliki berbagai platform berbeda dengan game eksklusif mereka masing-masing seringkali ditanggapi dingin. Respon yang seringkali Agan dapatkan? “Ah..sama aja..”
“Itu kan cuman pedang digital, kok girang amat?”
Banyak orang awam yang tidak akan pernah memahami rasa puas dan pencapaian yang dihasilkan dari kerja keras dan dedikasi yang terbayarkan lewat item-item super langka yang didapatkan.
Sebagian besar game saat ini, apalagi RPG memang menjadikan perkembangan karkater sebagai salah satu daya tarik utama. Daripada sekedar memberikan karakter yang memang sudah kuat sejak awal permainan, Agan diminta untuk mengembangkan karakter lewat sistem leveling up, memperkuat mereka seiring dengan lebih banyak pengalaman yang didapatkan dan quest yang diselesaikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika keterikatan emosional dengan tiap karakter ini membuat banyak gamer yang akan menyambut dengan senang hati sebagai item digital yang dapat digunakan untuk memperkuat mereka. Semakin langka, semakin tinggi pula rasa puas dan senang yang dimunculkan. Bagi para orang awam, sikap seperti ini tentu saja dilihat sebagai sesuatu yang aneh, apalagi mengingat waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mendapatkannya.
“Ngapain main game kalau malah jadi stress?”
Semua game diciptakan untuk kesenangan = salah satu prejudice non-gamer yang salah besar. Tidak mengherankan jika gamer yang justru stress, marah, dan frustrasi karena game dilihat sebagai sesuatu yang aneh.
Paganngan umum bahwa video game hanya dibangun untuk menghasilkan kesenangan semata memang dipaganng dangkal oleh para gamer. Mereka yang awam seolah tidak mengerti bahwa setiap game dibangun dengan daya tarik yang berbeda-beda, termasuk tingkat kesulitan yang ada. Tidak sedikit game yang alih-alih menawarkan kesenangan, justru menghadirkan tantangan super sulit yang akan membuat gamer manapun frustrasi dan menyerah di tengah jalan. Namun fakta bahwa kita merasa stress, frustrasi, dan marah karena tidak mampu menyelesaikan satu bagian game ternyata dipaganng aneh oleh mereka yang awam. Terbatasnya pengalaman dan pengetahuan soal game melahirkan pemikiran yang satu ini. Cara terbaik? Ajak mereka “menikmati” Dark Souls untuk jangka waktu tertentu.
“Ayo jalan, buruan! Save, terus matiin!”
Orang awam mengerti bahwa gamer sangat membutuhkan SAVE untuk menyimpan permainan. Yang mereka tidak tahu? Seberapa besar urgensi dan kerelaan kita untuk mengorbankan banyak hal hanya untuk memastikan progress permainan kita tersimpan dengan baik.
Berapa banyak dari Agan yang pernah mengalami kejadian ini, apalagi Agan yang sempat mencicipi game-game lawas di platform generasi sebelumnya? Sebagian non-gamer sangat mengerti bahwa Agan harus melakukan perintah SAVE untuk memastikan progress permainan Agan tercatat dan tidak hilang. Namun yang tidak pernah bisa mereka mengerti adalah fakta bahwa Agan membutuhkan SAVE POINT untuk melakukannya. Hasilnya? Ketika Agan terpentok jadwal yang dianggap penting, mereka yang non-gamer tidak akan segan untuk memaksa Agan untuk menghentikan permainan di kala jalan sembari melemparkan kata magis “Save dulu aja!”. Ketika Agan berargumen bahwa Agan butuh mencari save point terlebih dahulu sebelum dapat melakukannya, Agan dicap sebagai pembohong dan hanya mengulur-ngulur waktu tanpa bisa memperhatikan prioritas. Kejadian yang sama juga ketika Agan memperlihatkan mood yang berantakan ketika utnuk alasan yang tidak jelas, save data Agan bermasalah atau hilang. Orang awam tidak akan pernah memahami betapa penting dan berharganya kata “SAVE” dan “SAVE DATA” untuk seorang gamer. Tidak ada hal dan jadwal yang lebih penting daripada sebuah SAVE POINT ketika tengah memainkan sebuah game.
Di atas adalah 10 kebiasaan gamer yang seringkali dilihat sebagai sesuatu yang aneh oleh mereka yang non-gamer. Kecintaan dan dedikasi kita untuk menyelesaikan setiap video game yang ada tidak hanya membuat mereka tampil sekedar sebuah permainan digital yang diciptakan untuk kesenangan. Video game menawarkan tantangan, kepuasan, sensasi pencapaian, dan interaksi sosial unik yang tidak bisa didapatkan di dunia nyata sekalipun. Oleh karena itu, butuh ekstra kerja keras bagi mereka yang awam untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sebelum melemparkan prejudice tertentu untuk game tengah dimainkan atau tingkah laku “aneh” yang ditunjukkan oleh para gamer.
Lantas bagiamana dengan Agan sendiri? Kebiasaan gaming seperti apa yang Agan tunjukkan dan dianggap aneh, mengkhawatirkan, dan tidak masuk akal oleh lingkungan non-gamer di sekitar Agan? Jangan ragu untuk berbagi pengalaman yang Agan temukan.
No comments:
Post a Comment